GURU adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Di tetapkan pada
tanggal 25 November sebagai hari guru, membuat kita menghargai betapa besar
jasa mereka. Tanpa guru kita tidak akan mengerti bagaimana harus bersikap
menjadi seorang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Demikian "gelar" yang sudah
sedemikian populer disematkan di dada para guru. Dari satu sisi, gelar itu
cukup membanggakan, namun dari sisi lain bisa mengharukan. Disebut membanggakan
karena demikian hebatnya gelar tersebut diberikan kepada guru atas usahanya
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yang oleh karena itu bisa disejajarkan dengan
pahlawan. Sehingga dilihat dari segi moral bisa memotivasi bapak dan ibu guru
untuk semakin sungguh-sungguh melaksanakan tugasnya yang mulia. Bisa
mengharukan karena, sebagai pahlawan idealnya guru tidak terlalu banyak
menuntut dan meminta imbalan sebagaimana para pahlawan berjuang tanpa pamrih.
Namun, dalam kondisi kesejahteraan yang morat-marit bisakah guru hidup hanya
dengan gelar dan kebanggaan saja?.
Tidak semua guru bernasib baik menjadi
PNS, ribuan guru yang lain masih terkatung-katung nasibnya sebagai guru honorer
yang selalu meminta belas kasihan pihak sekolah. Di Kab. Bandung saja ada
sekitar 12.000 guru honorer dari berbagai jenjang. Mereka, mendapat honorar
sekitar Rp 200 ribu - Rp 500 ribu/bulan atau lebih rendah lagi. Meski sudah ada
komitmen pemerintah daerah, yang memberikan alokasi dana BOS kabupaten yang
bertujuan salah satunya meningkatkan kesejahteraan guru non-PNS, ternyata
memang tidak banyak membantu. Sebab jumlah jam mengajar guru honorer tersebut
biasanya terbatas. Hal tersebut disebabkan guru PNS sendiri masih banyak yang
kekurangan jam pelajaran.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan telah dilakukan dengan memberikan tunjangan sertifikasi. Namun
lagi-lagi nasib guru honorer tidak terlalu baik karena jumlah kuota tiap
kabupaten/kota yang terbatas. Alokasi yang ada lebih diprioritaskan bagi guru
PNS.
Saat ini tidak berlebihan kiranya
apabila para guru adalah pahlawan yang mengharap balas jasa. Pemahaman tentang
balas jasa, tentu tidak dipersepsi sebagai tindakan komersialisasi. Namun,
sebagai penjual "jasa" layanan pendidikan sudah saatnya mereka berhak
menikmati jerih payahnya. Dengan begitu timbul motivasi untuk meningkatkan
kemampuannya serta lebih sungguh-sungguh pada profesinya. Dengan kata lain,
para guru sebagai tenaga professional layak di sejajarkan dengan dokter,
pengacara dsb.
Tanggal 25 Nopember diperingati sebagai
Hari Guru. Peringatan itu tentu tidak dilaksanakan sekadar seremonial saja.
Tetapi dijadikan refleksi atas perjalanan kiprah dan perjuangan guru dalam
upaya mencetak generasi bangsa yang unggul, mandiri, dan tangguh. Tantangan
yang dihadapi ke depan semakin berat.