Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri.
Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Sebagai contoh, hak cipta yang berkaitan dengan tokoh kartun Miki Tikus melarang pihak yang tidak berhak menyebarkan salinan kartun tersebut atau menciptakan karya yang meniru tokoh tikus tertentu ciptaan Walt Disney tersebut, namun tidak melarang penciptaan atau karya seni lain mengenai tokoh tikus secara umum.
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 butir 1).
Sejarah hak cipta.
Konsep
hak cipta di Indonesia
merupakan terjemahan dari konsep copyright
dalam bahasa Inggris (secara harafiah artinya
"hak salin"). Copyright
ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak.
Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya
tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya
aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang,
yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak
yang dapat disalin.
Awalnya,
hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya
cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di
Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan
tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa
penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi
jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa
berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright,
yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.
Berne Convention for the Protection of Artistic and
Literary Works
("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra"
atau "Konvensi Bern") pada tahun 1886 adalah yang pertama
kali mengatur masalah copyright
antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan
pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah
karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan
hak eksklusif copyright
terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si
pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.
Hak-hak yang tercakup dalam hak cipta
1. Hak eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan
kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
- membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
- mengimpor dan mengekspor ciptaan,
- menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
- menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
- menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan "hak eksklusif"
dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan
hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak
cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga berlaku di Indonesia.
Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk "kegiatan
menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan,
meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan,
merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun".
Selain itu, dalam hukum yang berlaku di
Indonesia diatur pula "hak terkait", yang berkaitan dengan hak cipta
dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik,
aktor,
penari,
dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur
pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau
disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab
VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara
nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta
tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan
atau perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat
pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi,
dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).
2. Hak ekonomi dan hak moral
Banyak negara mengakui adanya hak moral yang
dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan TRIPs WTO (yang secara inter alia juga mensyaratkan
penerapan bagian-bagian relevan Konvensi Bern).
Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak
tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan tersebut.
Menurut konsep Hukum Kontinental (Prancis),
"hak pengarang" (droit
d'aueteur, author right) terbagi menjadi "hak ekonomi" dan "hak moral" (Hutagalung, 2012).
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep
"hak ekonomi" dan "hak moral". Hak ekonomi adalah hak untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang
melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat
dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah
dialihkan. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada
ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk
dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak
Cipta.
Kritik atas konsep hak cipta
Keberhasilan proyek perangkat lunak bebas seperti Linux, Mozilla Firefox, dan Server HTTP Apache telah menunjukkan bahwa ciptaan bermutu dapat dibuat tanpa adanya sistem sewa bersifat monopoli berlandaskan hak cipta [2]. Produk-produk tersebut menggunakan hak cipta untuk memperkuat persyaratan lisensinya, yang dirancang untuk memastikan kebebasan ciptaan dan tidak menerapkan hak eksklusif yang bermotif uang; lisensi semacam itu disebut copyleft atau lisensi perangkat lunak bebas.
Asosiasi Hak Cipta di Indonesia
Asosiasi Hak Cipta di Indonesia
antara lain:- KCI : Karya Cipta Indonesia
- ASIRI : Asosiasi Industri Rekaman Indonesia
- ASPILUKI : Asosiasi Piranti Lunak Indonesia
- APMINDO : Asosiasi Pengusaha Musik Indonesia
- ASIREFI : Asosiasi Rekaman Film Indonesia
- PAPPRI : Persatuan Artis Penata Musik Rekaman Indonesia
- IKAPI : Ikatan Penerbit Indonesia
- MPA : Motion Picture Assosiation
- BSA : Bussiness Software Assosiation
- YRCI : Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta.